Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1),
memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai
alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang
mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa
yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those
symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat
didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional
untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan
kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan
oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa
adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif.
Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol
arbitrer. Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
Kalau kita lihat secara cermat, kondisi
kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan
bahasa Indonesia di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat
perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai
tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan
bahasa Indonesia itu mulai banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi
menunjukkan jati diri keindonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak
asing di mata masyarakatnya sendiri. Kondisi seperti itu harus kita sikapi
dengan bijak agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri.
Di sisi lain, kita juga melihat sikap sebagian
masyarakat yang tampaknya merasa lebih hebat, lebih bergengsi, jika dapat
menyelipkan beberapa kata asing dalam berbahasa Indonesia, padahal kosakata
asing yang digunakannya itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya,
sebagian masyarakat lebih suka menggunakan kata di-follow up-i, di-pending,
meeting, dan on the way. Padahal, kita memiliki kata ditindaklanjuti
untuk di-follow up-i, kata ditunda untuk di-pending, pertemuan
atau rapat untuk meeting, dan sedang di jalan untuk on
the way, lalu mengapa kita harus menggunakan kata asing? Sikap yang tidak
“menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia itu, harus kita kikis karena
kita harus mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai simbol jati diri
bangsa.
Tidak seharusnya kita membiarkan bahasa Indonesia
larut dalam arus komunikasi global yang menggunakan media bahasa asing seperti
itu. Jika hal seperti itu kita biarkan, tidak tertutup kemungkinan jati diri
keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun akan pudar, bahkan tidak tertutup
kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global. Jika hal itu terjadi,
jangankan berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan jati diri
keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi seperti
itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai
upaya agar jati diri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain di dunia.
Dalam konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia sesungguhnya
selain merupakan jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan
bangsa.
Selain bahasa Indonesia, sastra Indonesia juga
merupakan bagian dari simbol jati diri bangsa. Hal itu karena sastra pada
dasarnya merupakan pencerminan, ekspresi, dan media pengungkap tata nilai,
pengalaman, dan penghayatan masyarakat terhadap kehidupan sebagai suatu bangsa.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang terungkap dalam karya sastra Indonesia
pada dasarnya juga merupakan pencerminan dari jati diri bangsa Indonesia.
Jika sebagai suatu bangsa, salah satu simbol jati
diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia; sebagai anggota suatu komunitas
etnis di Indonesia, simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra daerah. Oleh
karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan, bahasa dan sastra daerah
juga harus kita jaga dan kita pelihara untuk menunjukkan jati diri dan
kebanggaan kita sebagai anggota masyarakat daerah.
Sebagai warga negara Indonesia, kita tidak boleh
kehilangan jati diri kita sebagai suatu bangsa dan sebagai putra daerah, kita
tidak boleh kehilangan jati diri kedaerahan kita agar kita tidak tercerabut
dari akar budayanya. Sebagai putra daerah, kita tidak boleh kehilangan jati
diri kedaerahannya, dan sebagai putra Indonesia, kita tidak boleh kehilangan
jati diri kita sebagai suatu bangsa.
Selain terungkap dalam simbol bahasa dan sastra,
jati diri kita tercermin pula dari kekayaan seni budaya, adat istiadat atau
tradisi, tata nilai, dan juga perilaku budaya masyarakat. Terkait dengan itu,
Indonesia amat kaya akan keragaman seni budaya, adat istiadat atau tradisi, dan
juga tata nilai dan perilaku budaya. Sebagai unsur kekayaan budaya bangsa, seni
budaya, adat istiadat atau tradisi, tata nilai, dan perilaku budaya perlu
dilestarikan dan dikembangkan sebagai simbol yang dapat mencerminkan jati diri
bangsa, baik dalam kaitannya dengan jati diri lokal maupun jati diri nasional.
Satu hal lagi yang dapat menjadi simbol jati diri
adalah kearifan lokal. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan
lokal yang merupakan pencerminan sikap, perilaku, dan tata nilai komunitas
pendukungnya. Kearifan lokal itu dapat digali dari berbagai sumber yang hidup
di masyarakat, yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi leluhurnya
dalam bentuk pepatah, tembang, permainan, syair, kata bijak, dan berbagai
bentuk lain. Kearifan lokal itu sarat nilai yang dapat diimplementasikan dalam
kehidupan masa kini yang dapat memperkuat kepribadian dan karakter masyarakat,
serta sekaligus sebagai penyaring pengaruh budaya dari luar.
Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia
harus terus dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana
komunikasi yang modern dalam berbagai bidang kehidupan. Di samping itu, mutu
penggunaannya pun harus terus ditingkatkan agar bahasa Indonesia dapat menjadi
sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk berbagai keperluan. Upaya ke
arah itu kini telah memperoleh landasan hukum yang kuat, yakni dengan telah
disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut merupakan amanat
dari Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
sekaligus merupakan realisasi dari tekad para pemuda Indonesia sebagaimana
diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yakni menjunjung
bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Dalam menjalani kehidupan pada era global saat
ini, jati diri lokal ataupun jati diri nasional tetap merupakan suatu hal yang
amat penting untuk dipertahankan agar kita tetap dapat menunjukkan keberadaan
kita sebagai suatu bangsa. Jati diri itu sama pentingnya dengan harga diri.
Jika tanpa jati diri, berarti kita tidak memiliki harga diri. Atas dasar itu,
agar menjadi suatu bangsa yang bermartabat, jati diri bangsa itu harus
diperkuat, baik yang berupa bahasa dan sastra, seni budaya, adat istiadat, tata
nilai, maupun perilaku budaya dan kearifan lokalnya.
Untuk memperkuat jati diri itu, baik yang lokal
maupun nasional, diperlukan peran serta berbagai pihak dan dukungan aturan
serta sumber daya yang memadai. Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan
dalam memperkuat jati diri bangsa itu. Dengan jati diri yang kuat, bangsa kita
akan makin bermartabat sehingga mampu berperan—bahkan juga bersaing—dalam
kancah kehidupan global.
Sumber :
http://wismasastra.wordpress.com/2009/05/25/apa-bahasa-itu-sepuluh-pengertian-bahasa-menurut-para-ahli/
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/321